Yhohannes Neoldy. Diberdayakan oleh Blogger.
Rabu, 01 Oktober 2025

"Mengupas Limbago dan Hukum Adat Minangkabau”.


Pengakuan hak-hak masyarakat adat bukan hanya soal regulasi, tetapi soal penghargaan terhadap identitas dan marwah bangsa. Di Minangkabau, Limbago dan hukum adat telah terbukti mampu menjaga keseimbangan sosial dan keadilan komunal selama berabad-abad.

Kini, tantangan terbesar adalah bagaimana negara tidak hanya mengakui secara formal, tetapi juga secara substantif. Jika pengakuan itu benar-benar diwujudkan, maka hukum adat Minangkabau dapat menjadi model bagaimana kearifan lokal dan hukum nasional bisa bersinergi untuk membangun Indonesia yang adil, beridentitas, dan berkelanjutan.

Masyarakat adat merupakan salah satu pilar penting dalam sejarah, identitas, dan keberlanjutan bangsa Indonesia. Mereka bukan sekadar kelompok yang menjaga tradisi, tetapi juga penopang nilai-nilai luhur yang diwariskan turun-temurun. Di tengah derasnya arus modernisasi, pengakuan dan perlindungan hak-hak masyarakat adat menjadi isu strategis yang tidak boleh diabaikan. Tuntutan pengakuan ini menyentuh aspek hukum, sosial, budaya, dan politik yang harus disisir dengan cermat agar tidak terjadi kesenjangan antara regulasi formal dengan realitas sosial yang hidup di tengah masyarakat.

Dalam konteks Minangkabau, salah satu suku bangsa yang memiliki sistem adat yang sangat kuat, pembahasan ini menjadi semakin relevan. Minangkabau tidak hanya dikenal dengan pepatah-petitih, falsafah, dan adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah, tetapi juga dengan lembaga adat yang disebut Limbago. Limbago menjadi payung, aturan, sekaligus pedoman yang mengatur kehidupan sosial, politik, dan kekerabatan di ranah Minang. Melalui Limbago, hukum adat dijalankan sebagai wujud nyata dari kearifan lokal yang menjunjung tinggi keseimbangan, keadilan, serta keharmonisan.

1. Hak-hak Masyarakat Adat dalam Perspektif Nasional

Konstitusi Indonesia sebenarnya telah memberi ruang pengakuan bagi masyarakat adat. Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 menyatakan bahwa “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup, sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.”

Namun, dalam praktiknya, masyarakat adat sering kali menghadapi masalah serius terkait tanah ulayat, hutan adat, sumber daya alam, dan ruang hidup yang mereka kelola secara turun-temurun. Konflik lahan dengan korporasi, keterbatasan regulasi daerah, serta lemahnya perlindungan hukum menyebabkan hak-hak masyarakat adat sering terabaikan. Karena itu, tuntutan pengakuan bukanlah sekadar simbol, tetapi sebuah kebutuhan nyata demi keberlangsungan identitas dan kesejahteraan masyarakat adat.

2. Limbago Minangkabau sebagai Sistem Sosial

Dalam adat Minangkabau, Limbago dapat dipahami sebagai tatanan atau sistem yang mengatur hubungan antarsesama, antara kemenakan dengan mamak, antara kaum dengan ninik mamak, dan antara nagari dengan dunia luar. Limbago tidak hanya berbentuk aturan tertulis, tetapi lebih pada norma yang hidup dalam masyarakat. Ia dijalankan melalui musyawarah, mufakat, dan kesepakatan yang dijunjung bersama.

Contoh paling nyata dari fungsi Limbago adalah dalam pengelolaan pusako tinggi dan tanah ulayat. Tanah bukan sekadar aset ekonomi, tetapi simbol identitas, warisan nenek moyang, dan ruang sosial yang dijaga oleh kaum serta ninik mamak. Dengan adanya Limbago, hak-hak kolektif dijamin dan dikelola secara komunal, bukan individual. Inilah yang membedakan hukum adat Minangkabau dengan hukum positif negara yang cenderung individualistik.

3. Hukum Adat Minangkabau: Adat Basandi Syarak

Hukum adat Minangkabau memiliki dasar filosofis yang kuat: adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah. Artinya, hukum adat berjalan beriringan dengan syariat Islam. Nilai-nilai moral, etika, dan keagamaan menjadi landasan setiap keputusan adat. Prinsip ini membuat hukum adat Minangkabau memiliki daya hidup yang panjang, mampu menyesuaikan diri dengan zaman, dan tetap diterima oleh masyarakat hingga kini.

Dalam praktiknya, hukum adat mengatur banyak aspek: perkawinan, pewarisan, peran mamak dan kemenakan, serta penyelesaian sengketa. Penyelesaian masalah selalu diupayakan melalui jalan mufakat, dengan pepatah yang terkenal: “Bajanjang naik, batanggo turun, ka nan bana dipai, ka nan salah ditampuah.” Filosofi ini menegaskan bahwa penyelesaian sengketa harus mencari kebenaran dan keadilan, bukan sekadar menghukum.

4. Menyisir Kesesuaian Tuntutan dan Realitas

Ketika masyarakat adat Minangkabau menuntut pengakuan hak-hak mereka, tuntutan itu harus ditempatkan dalam konteks kesesuaian antara hukum adat dan hukum nasional. Negara berkewajiban melindungi, tetapi juga harus memahami cara kerja Limbago yang berbeda dengan sistem hukum positif. Jika tidak, pengakuan hanya akan menjadi formalitas tanpa makna.

Sebagai contoh, banyak tanah ulayat yang digugat sebagai tanah negara atau diberikan izin konsesi kepada korporasi besar. Padahal, dalam Limbago Minangkabau, tanah ulayat adalah hak komunal yang tidak boleh diperjualbelikan sembarangan. Jika negara tidak menyesuaikan kebijakan dengan hukum adat, maka konflik agraria akan terus berulang.

5. Jalan Tengah: Integrasi Adat dan Negara

Untuk menyisir kesesuaian itu, perlu ada sinergi antara negara dengan masyarakat adat. Negara harus mengakui keberadaan Limbago, bukan hanya secara seremonial, tetapi juga dalam kebijakan praktis: pengakuan legal tanah ulayat, perlindungan sumber daya alam, serta pemberdayaan masyarakat adat dalam pembangunan.

Di sisi lain, masyarakat adat juga perlu membuka diri untuk berdialog dengan sistem hukum modern agar tidak terjadi benturan yang berujung pada kerugian bersama. Dengan demikian, hukum adat Minangkabau bisa menjadi contoh bagi bangsa Indonesia dalam membangun sistem hukum yang berakar pada kearifan lokal tetapi tetap sejalan dengan konstitusi.

Penutup

Tuntutan pengakuan hak-hak masyarakat adat pada dasarnya adalah panggilan untuk menjaga identitas, martabat, dan kelangsungan hidup komunitas asli. Dalam konteks Minangkabau, Limbago dan hukum adat telah membuktikan diri sebagai sistem yang mampu menjaga keseimbangan sosial selama berabad-abad.

Kini, tantangan terbesar adalah bagaimana negara dapat benar-benar mengintegrasikan pengakuan itu ke dalam praktik nyata. Jika hal ini dapat diwujudkan, maka pengakuan terhadap hak-hak masyarakat adat tidak hanya menjadi wacana hukum, tetapi juga menjadi fondasi kebangsaan yang kokoh: berkeadilan, beridentitas, dan berkelanjutan.
           
By :YNW