Yhohannes Neoldy. Diberdayakan oleh Blogger.
Sabtu, 27 September 2025

PELABUHAN CINTA YANG TERTUNDA


Oleh  : YNW

SENJA DI DERMAGA
Senja itu seperti biasa jatuh dengan perlahan, melukis langit dengan semburat jingga keemasan. Ombak datang silih berganti, menyentuh tiang-tiang dermaga yang sudah mulai rapuh dimakan usia. Raka berdiri seorang diri, menatap lautan yang luas seakan mencari sesuatu di balik cakrawala. Sejak lima tahun lalu, tempat ini bukan lagi sekadar pelabuhan bagi para nelayan atau kapal penumpang—baginya, pelabuhan ini adalah ruang penantian, ruang di mana hatinya berlabuh pada janji yang belum ditepati.

Orang-orang sering melihatnya, duduk termenung di tepi dermaga sambil merokok atau sekadar menatap kapal yang merapat. Mereka berbisik-bisik, sebagian merasa iba, sebagian lagi mencibir, “Raka itu gila, masih saja menunggu perempuan yang mungkin sudah lupa padanya.” Namun Raka tak peduli. Ia hanya percaya bahwa cinta sejati akan menemukan jalannya, meski harus melalui badai dan jarak yang panjang.

Di sela desir angin laut yang membawa aroma asin, Raka menutup matanya sejenak. Ingatannya kembali ke lima tahun lalu, saat Laila berdiri di dermaga yang sama, menatapnya dengan mata berkaca-kaca. “Percayalah, aku akan kembali,” katanya lirih sebelum menaiki kapal menuju negeri seberang. Janji sederhana, namun cukup untuk membuat seorang lelaki mengikatkan seluruh hidupnya pada pelabuhan tua ini.

Hari-hari berjalan lambat. Raka menyaksikan kapal datang dan pergi, wajah-wajah baru dan lama, namun tak satu pun milik Laila. Kadang ia bertanya dalam hati, “Apakah aku sedang menunggu seseorang yang sudah melupakan diriku? Atau justru aku sedang menjaga janji agar hatiku tak tersesat?”
Namun tidak semua orang memahami. Ada yang menertawakan, ada pula yang menganggapnya gila. Raka belajar membiarkan cibiran itu lewat seperti angin, sebab yang ia genggam hanyalah satu: keyakinan bahwa cinta sejati tak akan sia-sia.

Malam-malam di dermaga sering jadi saksi keheningan batinnya. Ia menatap bintang yang terpantul di air laut, lalu menulis bait-bait kecil di buku catatannya. “Jika lautan tak bertepi, biarlah kesetiaan ini menjadi pantainya.” Senja demi senja, dermaga tetap menjadi saksi. Orang-orang mungkin melihatnya sebagai lelaki yang bodoh, tetapi bagi Raka, setiap ombak yang datang adalah bisikan: “Bertahanlah, sebab yang kau nanti akan kembali.”

TAHUN-TAHUN PENANTIAN
Hari berganti minggu, minggu berganti bulan, dan bulan bertumpuk menjadi tahun. Raka tetap setia datang ke pelabuhan setiap sore. Kadang ia membawa buku, kadang sekadar duduk diam, menatap orang-orang turun dari kapal dengan harap wajah Laila muncul di antara mereka.
Sahabat-sahabatnya mulai meninggalkannya. “Kau bodoh, Ka. Dunia ini luas, masih banyak perempuan lain,” ujar Fadli, teman masa kecilnya. Tapi Raka hanya tersenyum getir. Baginya, cinta bukan soal mencari yang baru, melainkan menjaga janji lama.

Ada saat-saat ia hampir menyerah. Saat hujan deras mengguyur, ia bertanya dalam hati: “Masihkah ia mengingatku? Atau hanya aku yang terjebak pada ilusi masa lalu?” Namun setiap kali ia menutup mata, bayangan Laila kembali hadir, menyemangatinya untuk bertahan.
Suatu sore, seorang nelayan tua menepuk bahunya, “Ka, aku kagum padamu. Tapi ingat, hidup ini tak hanya soal menunggu. Kadang kita harus berlayar juga.” Raka menatap laut, tersenyum tipis. “Aku memang tak berlayar, Pak. Tapi hatiku sudah terikat di satu jangkar. Bagiku, menunggu adalah perjalanan itu sendiri.” Tahun kelima menjadi titik terberat. Raka jatuh sakit. Tubuhnya lemah, tapi begitu bisa berjalan lagi, ia tetap memaksa datang ke pelabuhan. Orang-orang mulai percaya, bahwa ada sesuatu yang lebih besar dari sekadar cinta dalam kesetiaan Raka. Pelabuhan itu bukan hanya tempatnya menanti, tapi sudah menjelma rumah bagi jiwanya.
Raka menunduk sebentar, nyaris putus asa. “Mungkin benar, aku hanya bermimpi…” gumamnya. Tapi ketika ia mengangkat wajah, di antara penumpang yang turun dari kapal, tampak sehelai kerudung biru laut berkibar tertiup angin. Jantung Raka berhenti sejenak. Wajah itu tak berubah, hanya lebih dewasa, lebih letih, tapi tetap sama: Laila.
“Laila…?” suara Raka bergetar. Langkah Laila terhenti. Air mata segera memenuhi matanya. Lima tahun seakan runtuh dalam sekali pandang. Ia berlari, dan tanpa peduli tatapan orang-orang, ia merengkuh Raka dalam pelukan. “Maafkan aku, Ka… aku pulang,” bisik Laila dengan suara gemetar. Raka memejamkan mata. Senja di dermaga itu akhirnya menjadi saksi, bahwa janji yang dijaga dengan setia memang menemukan jalannya.

Pelabuhan tua bergemuruh oleh tepuk tangan anak-anak yang menyaksikan, nelayan tersenyum, dan angin membawa doa ke cakrawala. Bagi Raka dan Laila, dermaga itu bukan lagi tempat perpisahan, melainkan rumah tempat cinta akhirnya kembali berlabuh.

JEJAK LAILA DI NEGERI SEBERANG
Sementara itu, di negeri seberang, hidup Laila tak semudah yang dibayangkan. Ia memang kuliah, meraih gelar, dan bekerja di kota besar. Namun setiap malam, saat kesibukan mereda, ia duduk di jendela kamarnya menatap bintang. Bayangan Raka selalu hadir.
Ada pria lain yang mencoba mendekatinya, bahkan seorang kolega yang mapan dan tampan. Ibunya pernah berkata, “Laila, berhentilah hidup dalam kenangan. Raka itu mungkin sudah lupa padamu.” Tapi Laila hanya tersenyum samar. “Aku percaya ia menunggu. Aku harus pulang, Bu. Ada janji yang belum kutepati.”

Namun perjalanan pulang bukan perkara mudah. Ada beban keluarga, pekerjaan yang menahan, bahkan keraguan dalam hatinya: apakah Raka benar-benar masih menunggu, ataukah ia hanya akan pulang untuk menemukan dermaga yang kosong?
Hari-hari Laila dipenuhi dilema. Setiap kali ia menyiapkan koper untuk pulang, selalu ada panggilan rapat, proyek baru, atau desakan keluarga agar ia tetap tinggal. “Masa depanmu ada di sini,” kata ayahnya. “Di kampung hanya ada laut dan kenangan. Kau terlalu berharga untuk kembali.”

Namun Laila tahu, harga dirinya justru ada pada kesetiaan menepati janji. Setiap malam, ia berdoa, meminta petunjuk. Kadang hatinya bergetar oleh rindu yang menyesakkan, kadang pula ia dihantui ketakutan: bagaimana jika ia kembali, lalu Raka tak lagi ada, atau sudah memilih yang lain?
Suatu malam, hujan deras mengguyur kota. Laila duduk di kafe dekat kampus lamanya, menatap derasnya air di kaca jendela. Di mejanya, sebuah buku tua terbuka—buku yang pernah ia dapat dari Raka, dengan tulisan tangan sederhana di halaman pertama: “Aku akan selalu menunggu di dermaga itu.” Air matanya jatuh. Malam itu ia sadar, keputusan tak bisa ditunda lagi.
Beberapa hari kemudian, ia mengajukan pengunduran diri dari pekerjaannya. Atasannya menatapnya terkejut. “Kau punya masa depan cerah di sini, Laila. Kenapa kau memilih pergi?” Laila menunduk, lalu tersenyum kecil. “Karena masa depanku ada di tempat lain. Ada janji yang harus kutepati, dan itu lebih berharga dari semua ini.”

Di rumah, ibunya menangis, ayahnya marah. Tapi Laila tetap teguh. “Aku harus pulang, Ayah. Jika tidak, seumur hidup aku akan hidup dalam penyesalan.” Hari keberangkatan pun tiba. Dengan koper sederhana dan kerudung biru laut yang masih setia ia simpan, Laila menatap sekali lagi kota yang telah memberinya ilmu sekaligus kesepian. Kapal perlahan meninggalkan pelabuhan asing, membawa Laila pulang ke tanah kelahirannya.

Sepanjang perjalanan, dadanya dipenuhi degup tak menentu. Setiap ombak yang menghantam kapal seakan berbisik: “Apakah ia masih di sana?” Laila menggenggam erat pinggiran kursi. “Raka… tolonglah, tunggulah aku. Jangan biarkan aku pulang hanya untuk menemukan dermaga kosong.”

PERTEMUAN YANG PENUH RAGU
Lima tahun kemudian, Laila akhirnya kembali. Kapal yang ditumpanginya merapat perlahan, dan langkahnya gontai saat menuruni tangga. Kerudung biru laut masih setia menemaninya. Ia menoleh ke kanan dan kiri, hatinya berdegup cepat. Dan di ujung dermaga, ia melihat sosok yang tak asing. Raka, dengan wajah lebih dewasa, namun matanya masih sama. Mereka saling memandang dalam hening panjang, seolah waktu berhenti. Namun saat Raka melangkah, Laila menahan diri. Ada keraguan yang menyelimuti. “Raka… kau masih di sini?” suaranya bergetar.

“Aku janji akan menunggu. Dan aku menepatinya,” jawab Raka mantap. Air mata Laila jatuh, tapi bukan hanya bahagia—ada rasa bersalah, ada luka. “Aku hampir menyerah, Ka. Bahkan… aku sempat hampir menerima pinangan orang lain.”
Raka terdiam. HatInya bagai diterpa badai. Tetapi ia sadar, cinta sejati tak hanya tentang menunggu, melainkan juga tentang memaafkan. Raka menatap Laila lama, seolah mencari jawaban di balik matanya yang basah. Ombak memecah pelan di bawah dermaga, angin sore meniupkan aroma asin laut, dan semua itu menjadi saksi bagi dua hati yang pernah terpisah.

“Aku tahu, La,” suara Raka pelan namun tegas. “Aku bukan lelaki sempurna yang bisa memberimu segalanya. Satu-satunya yang kupunya hanyalah janji ini. Dan aku berpegang padanya.” Laila menggigit bibir, dadanya sesak oleh rasa bersalah. “Aku egois, Ka. Aku pergi tanpa pernah menengok ke belakang. Aku terlalu lama sibuk dengan dunia lain. Kadang aku takut… takut kau membenciku.”
Raka menghela napas panjang, lalu tersenyum getir. “Kalau aku membencimu, aku takkan pernah ada di sini. Lima tahun bukan waktu singkat, La. Ada hari-hari aku ingin menyerah. Tapi setiap kali aku ingin berhenti, aku teringat tatapanmu saat berjanji. Itu yang membuatku bertahan.”

Laila tak sanggup menahan tangis. Ia menutup wajah dengan kedua tangan, lalu berbisik di sela isaknya, “Ka… apakah masih ada ruang untukku di hatimu?” Raka melangkah maju, meraih kedua tangannya yang gemetar, lalu menyingkirkannya dari wajah Laila dengan lembut. “Hatiku tidak pernah berganti, La. Hanya saja… kini aku butuh tahu, kau kembali bukan karena janji semata, tapi karena hatimu memang pulang padaku.” Laila menatap Raka dengan mata sembab, namun sorotnya penuh keteguhan. “Aku kembali bukan hanya karena janji, tapi karena aku sadar… tidak ada tempat lain yang membuatku merasa utuh selain di sisimu.” 

Namun di dalam hati keduanya, masih ada tanda tanya besar: bisakah cinta yang tertunda bertahun-tahun benar-benar kembali utuh, atau akan selalu ada retakan kecil di dalamnya?

DERMAGA MENJADI SAKSI
Raka menggenggam tangan Laila, erat seakan tak ingin melepaskannya lagi. “Aku tidak peduli, Laila. Yang penting, sekarang kau pulang. Kau menepati janji.” Laila tersedu di pelukannya. Ombak bersorak, angin berhembus kencang, seolah semesta turut merayakan. Pelabuhan yang selama ini menjadi ruang penantian kini menjadi saksi pertemuan kembali dua hati yang pernah terpisah.

“Raka…” bisik Laila lirih, “mulai hari ini, aku tak ingin jauh lagi darimu. Biarlah dermaga ini menjadi pelabuhan terakhir kita. Tak ada lagi perpisahan.” Raka tersenyum, senja pun meredup. Di ufuk barat, matahari tenggelam perlahan, memberi ruang bagi malam untuk menyalakan bintang. Dan di bawah cahaya itu, dua jiwa akhirnya menemukan rumahnya—di pelabuhan cinta yang abadi.

Malam turun perlahan. Lampu-lampu pelabuhan menyala satu per satu, memantulkan cahaya ke permukaan laut yang berkilau seperti kaca. Raka dan Laila masih duduk di tepi dermaga, tanpa banyak kata. Hanya genggaman tangan yang berbicara, menghapus segala ragu yang pernah membelenggu.

“Lima tahun aku menunggu,” kata Raka akhirnya, suaranya tenang, “dan sekarang aku sadar… penantian itu bukan sekadar menunggumu kembali, tapi juga mengajariku arti kesetiaan.” Laila menoleh, matanya berkilau diterpa cahaya lampu. “Dan lima tahun aku pergi, Ka… ternyata bukan untuk menjauh. Aku pergi agar aku bisa menemukan diriku sendiri. Dan kini, aku pulang bukan lagi sebagai gadis yang dulu, tapi sebagai perempuan yang siap berjalan bersamamu.”

Raka tersenyum. “Kalau begitu, kita mulai lagi dari sini. Dari dermaga ini. Bukan sebagai janji yang tertunda, tapi sebagai cerita yang benar-benar hidup.” Laila mengangguk. Ia bersandar di bahu Raka, mendengarkan detak jantung yang pernah begitu ia rindukan. Laut berbisik, angin membawa doa, dan bintang-bintang di langit menjadi saksi bisu. 

Dermaga itu, yang dahulu hanya tempat penantian, kini berubah menjadi simbol sebuah awal baru. Di sanalah, Raka dan Laila tak lagi sekadar terikat oleh janji masa lalu, melainkan oleh keputusan untuk bersama menatap masa depan. Dan malam itu, di bawah langit yang penuh cahaya, cinta mereka tak lagi sekadar cerita penantian, melainkan perjalanan yang baru saja dimulai.

           
By :YNW