Yhohannes Neoldy. Diberdayakan oleh Blogger.
Jumat, 10 Oktober 2025

Adat Basondi Syarak, Syarak Basondi Kitabullah. Kata Nan Elok, Tapi Nan Dikhianati


“‘Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah.’ Frasa yang sering menghiasi VISI dan MISI kepala daerah di Sumatera Barat ini terdengar indah bagai manisnya sirup di atas lontong pagi. Ternyata di Sumatera Barat, kalimat “Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah” telah menjadi mantra wajib dalam setiap visi dan misi kepala daerah. Dari jauh, ia terdengar mulia, menggetarkan hati rakyat, seakan pemimpin benar-benar menghormati adat dan syarak. Namun, tarik tirai, buka mata, dan lihat kenyataannya: banyak yang gagah di poster, tapi hilang nyali ketika berhadapan dengan Kaum Adat.

Apakah itu sekadar slogan pemanis? Atau hanya tameng agar terlihat religius dan peduli budaya, sementara nyali untuk menghadapi kritik dan kearifan lokal benar-benar minim? Mereka menyanjung adat dengan bibir, tapi membelakangi roh adat dengan langkah kaki. Adat, yang seharusnya menjadi pedoman dalam setiap keputusan, dijadikan hiasan di poster dan pamflet kampanye.

Kaum Adat bukan pajangan untuk selfie atau tagline kampanye. Mereka adalah penjaga moral, penyeimbang keputusan, dan pelindung hak rakyat. Menghindar dari mereka berarti menghindar dari rakyat itu sendiri.  Kata-kata manis tentang “Adat Basandi Syarak” tetap dipajang, seolah itu sudah cukup. Padahal itu hanya debu manis yang beterbangan indah dilihat tapi tidak membangun nagari.

Bayangkan, seorang kepala daerah berdiri di podium, berpidato lantang soal penghormatan terhadap adat, menyebut-nyebut syarak dan Kitabullah, sambil kamera merekam setiap kata. Suaranya lantang, gesturnya heroik. Tapi begitu diundang duduk di balai adat, berbincang dengan orang-orang yang mewarisi hukum ulayat turun-temurun, kepala daerah itu tiba-tiba menemukan seribu alasan untuk menunda. Ada yang mengaku sibuk, ada yang mendadak sakit, ada yang buru-buru “ada rapat penting”. Lucu, sekaligus tragis.

Sikap gemetar ini berbuah nyata: keputusan pembangunan menjadi kering dari moralitas, hak rakyat terabaikan, tanah ulayat terbuka untuk dijajah pihak oportunis. Kepala daerah yang takut Kaum Adat membiarkan nagari kosong dari kepemimpinan yang berani. Mereka percaya bahwa slogan cantik akan menutupi ketakutan, tapi rakyat memiliki mata hati yang tajam; rakyat tahu siapa yang benar-benar berani dan siapa yang hanya berani di poster.

Mari kita bicara lebih tajam: slogan itu seharusnya menuntut keberanian. Kepala daerah yang sejati akan:

1. Turun ke nagari, bukan untuk foto selfie, tapi untuk duduk bersama Kaum Adat.

2. Mendengar kritik, keluhan, dan saran tanpa tersinggung.

3. Mengambil keputusan berani, meski tidak populer, karena itu benar dan sesuai adat.

4. Mengutamakan integritas lebih dari pencitraan.

Tetapi banyak yang takut. Mereka memandang balai adat seakan menghadapi naga buas, padahal yang menakutkan hanyalah kebenaran dan tanggung jawab. Kepala daerah yang gemetar ini lebih memilih rapat di ruangan ber-AC, dengan dokumen rapi, menghindari tatapan Kaum Adat yang menuntut integritas.

Seorang kepala daerah yang takut Kaum Adat seperti sopir yang takut jalan berliku, tapi mengaku jago karena bisa membaca peta. Mereka bisa menunjuk nama nagari, menyebut adat di laporan bulanan, tapi begitu harus menghadapi realitas, mereka tersandung oleh keberanian sendiri. Kata-kata manis mereka menjadi tameng palsu, yang mengaburkan ketakutan dan kemunafikan.

Jika slogan itu benar-benar dimaknai, kepala daerah sejati akan memahami: Kaum Adat bukan lawan, bukan ancaman. Mereka adalah mitra, penyeimbang, pengingat bahwa pembangunan tanpa pijakan adat adalah pembangunan tanpa jiwa. Menghindar dari mereka berarti menempatkan diri di posisi pengecut yang membiarkan nagari kehilangan arah.

Ketahuilah, Kaum Adat bukan hanya simbol; mereka adalah suara masyarakat, penjaga hukum, dan penyeimbang moral. Takut bertemu mereka bukan tanda kehati-hatian, tetapi pertanda lemahnya integritas. Kalau slogan itu benar-benar dimaknai, maka kepala daerah sejati akan turun, bukan lari; akan berdialog, bukan menghindar; akan mendengar, bukan menutup telinga.

Jadi, jangan biarkan ‘Adat Basandi Syarak’ hanya menjadi kata-kata indah di dokumen visi-misi. Jika tidak berani menghadapi Kaum Adat, lebih baik hapus saja kalimat itu daripada mempermalukan diri dengan kemunafikan yang dibungkus kata-kata suci.”

“Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah” bukan mantra untuk dipajang. Ia pedoman hidup yang menuntut keberanian. Kepala daerah yang takut menghadapi Kaum Adat bukan hanya gagal memimpin, tetapi juga mempermalukan diri sendiri. Mereka gemetar menghadapi kearifan yang sejati, tapi berani mengumbar kata-kata suci di podium.

Rakyat Sumatera Barat tidak buta. Mereka tahu siapa yang benar-benar peduli dan siapa yang hanya bermain kata-kata. Dan ketika akhirnya rakyat menagih pertanggungjawaban, tidak ada slogan indah yang bisa menutupi ketakutan, kemunafikan, dan kepengecutan. Kata-kata manis akan tersisa sebagai tawa pahit rakyat terhadap pemimpin yang takut sendiri dengan kearifan leluhur mereka.
           
By :YNW