Yhohannes Neoldy. Diberdayakan oleh Blogger.
Rabu, 08 Oktober 2025

Balik Banagari dan Balik Basurau yang Tak Kunjung Nyata



Sudah 45 tahun (1980-2025) orang Minangkabau menyebut gerakan balik banagari dan balik basurau. Namun, faktanya sampai hari ini keduanya masih sebatas kata-kata indah. Seakan-akan hanya jadi nyanyian yang diperdengarkan di forum adat, rapat nagari, atau seminar budaya.

Balik banagari mestinya berarti mengembalikan kekuatan pemerintahan adat yang berbasis nagari, tempat ninik mamak, alim ulama, cerdik pandai, dan bundo kanduang menjadi tungku nan tigo sajarangan. Tapi kini nagari lebih sering hanya jadi administrasi pemerintahan modern. Banyak keputusan nagari tak lagi berpijak pada adat, melainkan hanya pada program proyek dan kepentingan jangka pendek.

Sementara balik basurau, mestinya menghidupkan kembali surau sebagai pusat pendidikan agama, adat, dan ilmu pengetahuan. Surau dahulu adalah benteng akhlak generasi muda. Tapi hari ini, surau sering hanya jadi tempat salat berjamaah lima waktu. Perannya sebagai pusat pendidikan kian memudar, tergeser oleh sekolah formal dan dunia digital.

Jadi, kenapa balik banagari dan balik basurau tak kunjung nyata?

Karena adat dijadikan slogan, bukan pedoman.

Karena kepentingan politik lebih dominan daripada kepentingan budaya.

Karena generasi muda lebih diarahkan ke dunia praktis daripada pewarisan nilai.

Karena nagari dan surau tidak lagi dijadikan pusat kehidupan, hanya simbol tanpa fungsi.


Jika ini terus dibiarkan, Minangkabau hanya akan menyimpan nama besar, tapi kehilangan jiwa. Nagari tinggal nama administratif, surau tinggal bangunan tanpa ruh.

Solusi yang Tepat: Dari Slogan ke Aksi Nyata

1. Reformasi Nagari sebagai Pusat Kedaulatan Adat

Pemerintahan nagari harus dikembalikan ke falsafah adat: adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah.

Peraturan nagari (pernag) mesti berpijak pada nilai adat dan kepentingan masyarakat, bukan hanya turunan kebijakan dari atas.

Peran ninik mamak, alim ulama, dan bundo kanduang harus dipulihkan dalam pengambilan keputusan.

2. Menghidupkan Surau sebagai Pusat Pendidikan Karakter

Surau tidak cukup hanya jadi tempat ibadah, tapi harus kembali jadi pusat pendidikan adat, agama, dan seni budaya.

Generasi muda dilibatkan dalam kegiatan rutin di surau: belajar silat, kaba, randai, mengaji, hingga diskusi adat.

Pemerintah nagari harus menyalurkan dana untuk kegiatan surau, bukan hanya infrastruktur fisik.

3. Integrasi Adat dan Modernitas

Nagari dan surau perlu mengadopsi teknologi tanpa meninggalkan ruh adat. Misalnya, sistem informasi nagari berbasis digital untuk memperkuat musyawarah, atau pengajian surau yang disiarkan online untuk generasi muda.

Adat dan syarak mesti hadir di ruang publik modern, bukan sekadar di pidato seremonial.

4. Gerakan Sosial dan Partisipasi Generasi Muda

Gerakan balik banagari dan balik basurau tidak bisa hanya digerakkan oleh ninik mamak, tapi harus menyertakan pemuda sebagai agen utama.

Pemuda Minang perlu dilibatkan dalam musyawarah nagari, diberikan ruang untuk berinovasi, dan diarahkan agar bangga kembali ke surau.

Hampir setengah abad sudah wacana balik banagari dan balik basurau didengungkan, tapi ia tak akan pernah terwujud jika hanya jadi slogan. Kita butuh langkah nyata: menguatkan nagari sebagai pusat adat, menghidupkan surau sebagai pusat pendidikan, dan melibatkan generasi muda sebagai pewaris nilai.

Sebab, nagari tanpa adat hanyalah wilayah administratif. Surau tanpa ruh hanyalah bangunan kosong. Dan Minangkabau tanpa keduanya hanyalah nama besar yang tinggal sejarah.
           
By :YNW