Yhohannes Neoldy. Diberdayakan oleh Blogger.
Senin, 06 Oktober 2025

Pertemuan Tiga Cahaya Minangkabau: Buya Hamka, Bung Hatta, dan Buya Pakieh Saleh

Foto ini di Ambil di Rumah Pakieh Shalih (Shading Pasadiqoe) Parak Juar Batusangka

Foto ini menangkap momen langka — tiga tokoh besar Minangkabau yang telah menorehkan sejarah Indonesia berdiri berdampingan dalam suasana sederhana namun penuh makna: Buya Hamka, Bung Hatta, dan Pakieh Shalih. 

Diperkirakan diambil pada pertengahan dekade 1960-an di salah satu rumah gadang, foto ini menggambarkan suasana hangat, sederhana, dan penuh ketulusan. Tak ada kemegahan, tak ada protokol — hanya tiga tokoh Minang yang saling menghargai dalam keheningan kebersamaan.

Ketiganya bukan sekadar tokoh lokal, melainkan pelita bangsa dalam bidangnya masing-masing: keilmuan, keimanan, dan kebangsaan.

Buya Hamka: Ruh Islam dan Intelektualisme

Haji Abdul Malik Karim Amrullah, yang dikenal sebagai Buya Hamka, lahir di Maninjau tahun 1908. Ia adalah ulama, sastrawan, dan pemikir Islam modern yang memadukan akal dan rasa dalam satu napas keilmuan.
Dari karya-karyanya seperti Tasauf Modern, Lembaga Budi, dan Tenggelamnya Kapal Van der Wijck, Buya Hamka menegaskan bahwa Islam bukan hanya agama ibadah, tetapi juga sumber nilai, moral, dan kemajuan manusia.
Dalam dirinya berpadu keteguhan ulama, kelembutan sastrawan, dan keberanian seorang pejuang kebenaran.

Bung Hatta: Ruh Akal dan Keadilan
Di sisi lain berdiri Mohammad Hatta, sang Proklamator, negarawan besar yang menanamkan dasar moral dalam politik dan ekonomi Indonesia.
Lahir di Bukittinggi tahun 1902, Bung Hatta tumbuh dalam lingkungan surau dan adat yang menanamkan nilai malu dan amanah. Ia mengajarkan bahwa kebebasan tanpa tanggung jawab adalah kesia-siaan.
Konsep koperasi yang ia perjuangkan bukan semata sistem ekonomi, tetapi pengejawantahan nilai gotong royong dan keadilan sosial yang berakar dalam filosofi Minangkabau:

“Adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah.”

Pakieh Shalih: Ruh Adat dan Keteduhan Surau
Sosok ketiga dalam foto ini adalah Pakieh Shalih, ulama dan pendidik Minangkabau yang mewarisi tradisi keilmuan surau.
Beliau dikenal karena ketenangan dan keteguhannya dalam menjaga keseimbangan antara adat dan syarak, antara tradisi lama dan ajaran Islam yang murni.
Pakieh Shalih menjadi jembatan spiritual antara generasi ulama tradisional dan kaum intelektual modern, membimbing masyarakat agar tidak tercerabut dari akar budaya dan nilai luhur nenek moyang.

Makna Pertemuan
Pertemuan ketiganya dalam foto ini bisa dimaknai sebagai simbol pertemuan tiga kekuatan besar:

1. Ilmu dan Iman (Buya Hamka)
2. Akal dan Keadilan (Bung Hatta) 
3. Adat dan Ruhul Islam (Pakieh Shalih)

Tiga pilar ini adalah fondasi bagi kebangkitan peradaban Minangkabau dan Indonesia: perpaduan antara agama, adat, dan akal budi.

Foto ini bukan sekadar dokumentasi sejarah, melainkan cerminan falsafah Minang yang hidup:

“Alam takambang jadi guru — adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah.”

Dalam pandangan sejarah, gambar ini bercerita lebih dari seribu kata. Ia merekam harmoni antara pemimpin, ulama, dan cendekiawan — tiga sosok yang berbeda jalan namun satu tujuan: memuliakan manusia melalui ilmu, iman, dan amal. Dari wajah teduh dan senyum yang tulus, terpancar semangat zaman yang membangun bangsa tanpa pamrih — semangat yang kini menjadi warisan bagi generasi penerus Minangkabau dan Indonesia.

Dalam balutan warna masa lalu, membawa kita pada masa ketika keulamaan, keilmuan, dan kenegaraan saling bersentuhan.
Mereka mungkin datang dari jalan berbeda — Hamka dari mimbar dakwah, Hatta dari mimbar politik, dan Pakieh Shalih dari surau adat — tetapi mereka bertemu dalam satu cita: menegakkan martabat manusia dan bangsa dengan ilmu, iman, dan akhlak.

Ketiganya kini telah berpulang, namun ruh perjuangan mereka tetap hidup.
Buya Hamka mengajarkan keikhlasan dan kebebasan berpikir.
Bung Hatta mengajarkan kejujuran dan kesederhanaan.
Pakieh Shalih mengajarkan keteduhan dan kelestarian nilai adat serta syarak.

“Jangan biarkan ilmu terpisah dari iman,
jangan biarkan adat tercerabut dari syarak,
jangan biarkan kebangsaan kehilangan akhlak.”

H Mohammad Saleh Kari Sutan alias PAKIAH SALIAH DIGOE, Ayah kandung dari Bapak M Shadiq Pasadigoe Bupati Kabupaten Tanah Datar 2 priode 2005-2010 dan 2010-2015. Yang Sekarang Menjabat sebagai Anggota DPR RI 2024-2029 dari Fraksi Nasdem Wilayah Pemilihan Sumatra Barat I

           
By :YNW