(Wajah Pendidikan di Era 90-an)
Masih teringat jelas, setiap pagi di awal tahun 90-an, sebelum matahari naik sempurna, halaman sekolah sudah ramai oleh langkah kecil yang tergesa. Suara sandal jepit bercampur tawa, bau tanah basah, dan angin pagi yang membawa kabut tipis dari sawah. Namun di antara semua itu, ada satu hal yang paling ditakuti sekaligus dihormati oleh murid-murid: lima belas menit pertama bersama Guru Biologi.
Beliau adalah sosok yang l tenang tapi berwibawa, bajunya selalu rapi, memakai Ijab, dan matanya tajam bukan karena marah, tapi karena penuh perhatian. Ia berdiri di depan kelas sebelum bel masuk berbunyi, dengan tangan bersedekap di dada, menatap satu per satu wajah muridnya. Tak ada yang berani berpaling.
“Siapa yang sholat Subuh pagi ini?” suaranya tegas namun lembut, menggema di ruang kelas yang masih dingin. Satu per satu tangan kecil terangkat, sebagian dengan yakin, sebagian lagi ragu-ragu.
Bagi yang tidak mengerjakan, Ibu tidak akan memarahi. Ia hanya tersenyum senyum yang membuat jantung berdebar lebih kencang daripada suara lonceng sekolah. Ia akan menyuruh kedepan, lalu dengan dua jarinya yang mungil tapi kuat, memilin pusar murid itu dengan lembut tapi menancap di ingatan.
“Ini bukan hukuman,” katanya suatu hari, “biar kamu ingat, Nak. Kalau Subuh kamu tinggalkan, nanti hatimu jadi malas, dan rezekimu bisa sembunyi.” Kata-katanya sederhana, tapi seakan membawa hikmah dari langit.
Lima belas menit pertama itu bukan sekadar pemeriksaan ibadah. Itu adalah pelajaran hidup. Dari situ anak-anak belajar bahwa disiplin bukan cuma soal datang tepat waktu, tapi soal bagaimana menata hati sejak pagi. Bahwa sholat Subuh bukan cuma ibadah, tapi tanda kesiapan untuk menyambut hari dengan cahaya.
Setelah itu, barulah pelajaran dimulai. Ibu Guru menulis dengan kapur di papan tulis hitam tua. Tulisan tangannya miring sedikit ke kanan, halus dan bersih, tak pernah ada debu yang beterbangan. Tapi kalau ada murid yang berisik atau mengantuk, kapur tulis dan penghapus bisa “terbang” seketika meluncur tepat ke arah sumber suara. Tak pernah melukai, tapi cukup membuat seluruh kelas mendadak hening.
Kelas bersama Guru Biologi adalah perpaduan antara kasih sayang dan ketegasan, antara tawa dan rasa takut yang menyehatkan. Ia tak perlu berteriak untuk dihormati, tak perlu ancaman untuk ditaati. Cukup dengan tatapan dan sentuhan di pusar itu, murid-murid belajar tentang makna tanggung jawab.
Kini, setelah bertahun-tahun berlalu, generasi yang dulu duduk di bangku kayu itu sudah menjadi orang tua, guru, pegawai, bahkan pemimpin. Tapi sebut nama Ibu Eni, dan semua akan tersenyum mengenang masa di mana “pilinan pusar” terasa lebih berharga dari seribu nasihat panjang.
Mereka mungkin sudah melupakan rumus panjang, tapi tak pernah lupa pelajaran sederhana itu: bahwa hidup harus dimulai dengan disiplin, dengan ibadah, dengan rasa hormat pada ilmu dan pada guru.
Kapur tulis boleh hilang, papan tulis boleh diganti layar digital, tapi nilai-nilai yang ditanamkan oleh sosok seperti Ibu Guru Biologi tetap hidup berputar bersama waktu, seperti pusar yang pernah dipilin dengan kasih sayang.
SURAT UNTUK GURU BIOLOGI
(Dari murid-murid yang dulu pusarnya pernah dipilin)
Ibu yang kami hormati,
Kini kami bukan lagi anak-anak berseragam putih biru dengan rambut acak-acakan dan kuku yang penuh debu. Kami sudah dewasa. Sebagian jadi guru, sebagian jadi orang tua, sebagian lagi masih berjuang di jalan yang panjang ini. Tapi setiap kali fajar menyingsing, setiap kali adzan Subuh berkumandang, kami teringat pada Ibu.
Kami teringat pada lima belas menit pertama di pagi sekolah itu saat Ibu berdiri di depan kelas, menatap kami satu per satu, menanyakan dengan suara lembut tapi tegas, “Siapa yang tidak sholat Subuh?”
Dan kami, dengan kepala tertunduk, menunggu jemari Ibu memilin pusar kami.
Dulu kami takut. Tapi kini kami rindu. Karena pilinan itu bukan rasa sakit, melainkan peringatan tanda kasih yang paling jujur. Dari pilinan itulah kami belajar tanggung jawab, kejujuran, dan kesungguhan. Kami belajar bahwa disiplin adalah bentuk cinta yang diam-diam.
Ibu , dunia sudah berubah.
Anak-anak sekarang lebih sering menatap layar daripada papan tulis. Kapur tulis sudah menjadi kenangan museum, dan penghapus tidak lagi berdebu. Tapi ada hal yang tak tergantikan: kehadiran seorang guru yang benar-benar peduli pada muridnya.
Kami masih ingat suara Ibu ketika berkata,
“Kalian boleh gagal dalam nilai, tapi jangan gagal jadi manusia.”
Kalimat itu masih bergema, bahkan saat kami menegur anak-anak kami sendiri. Kadang kami tersenyum rupanya kami mulai terdengar seperti Ibu. Suara kami berubah, tapi hatinya tetap sama: ingin menanamkan kebaikan dengan cara yang lembut tapi mengakar.
Ibu , kalau saja waktu bisa kami putar, kami ingin kembali ke pagi-pagi itu. Duduk di bangku kayu, mencium bau kapur, menatap tulisan tangan Ibu di papan hijau yang miring ke kanan. Kami ingin kembali mendengar Ibu berkata pelan, “Kalau Subuhnya terjaga, rezekinya tak akan jauh.”
Kini kami sadar Ibu bukan hanya mengajar, tapi membentuk.
Setiap tindakan kecil, setiap pilinan pusar, setiap coretan kapur, semuanya ternyata adalah doa.
Dan doa itu terus berjalan bersama kami, sepanjang hidup.
Terima kasih, Ibu.
Untuk semua debu kapur, pilinan, dan kasih sayang yang tak terucap.
Mungkin Ibu tak tahu, tapi di hati kami, nama Ibu tetap tertulis jelas seperti tulisan tangan Ibu di papan tulis:
miring sedikit, tapi indah dan tak pernah hilang.
